PENGGEREK BENDERA PERTAMA KALI DIMASA PRESIDEN SOEKARNO
Merah Putih tak akan berkibar 67 tahun yang lalu tanpa
peran petugas pengibarnya. Jika sudah demikian, tak akan pula bangsa ini
menikmati kemerdekaannya.Tidak banyak yang mengenal sosok pengibar Sang Saka
Merah Putih saat dibacakannya teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Padahal,
fotonya mudah ditemui di berbagai buku sejarah. Pria bercelana pendek itu tak
lain Ilyas Karim.
Ilyas kini aktif sebagai Ketua Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia, sebuah perkumpulan veteran, merupakan satu-satunya saksi sejarah detik-detik proklamasi yang masih hidup. Kehidupan Ilyas yang pernah andil dalam berbagai misi penumpasan pemberontakan kurang mendapat perhatian pemerintah. Ia memang tidak mencari pengakuan penuh, tapi itu sudah seharusnya didapat pria yang juga pernah ikut dalam misi perdamaian Garuda II di Kongo, pada 1961 silam. Dia (pemerintah) tahu, kami berjuang, ujar Ilyas kecewa.
Meski demikian, Letnan Kolonel Purnawirawan ini tak ingin menuntut banyak. Ilyas hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan melihat kemerdekaan rakyat Indonesia. Ia berharap, generasi muda mau menghargai perjuangan para pahlawan dengan mengisi hidup lebih baik lagi. Kisah Hidup Ilyas Karim Sang Pengibar Bendera Pusaka Di usianya yang ke-81, pria sepuh itu masih tetap menikmati hidupnya di pinggir rel Kalibata, Jakarta Selatan.
Pria yang kini menderita stroke mata itu seharusnya bisa hidup lebih layak. Sebab, pria bernama Ilyas Karim adalah pelaku sejarah penting. Dialah pengibar pertama Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945 lalu. Anda tentu pernah melihat foto upacara pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat. Di foto itu tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ibu Fatmawati, dan SK Trimurti. Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas Karim.
Ilyas kini aktif sebagai Ketua Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia, sebuah perkumpulan veteran, merupakan satu-satunya saksi sejarah detik-detik proklamasi yang masih hidup. Kehidupan Ilyas yang pernah andil dalam berbagai misi penumpasan pemberontakan kurang mendapat perhatian pemerintah. Ia memang tidak mencari pengakuan penuh, tapi itu sudah seharusnya didapat pria yang juga pernah ikut dalam misi perdamaian Garuda II di Kongo, pada 1961 silam. Dia (pemerintah) tahu, kami berjuang, ujar Ilyas kecewa.
Meski demikian, Letnan Kolonel Purnawirawan ini tak ingin menuntut banyak. Ilyas hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan melihat kemerdekaan rakyat Indonesia. Ia berharap, generasi muda mau menghargai perjuangan para pahlawan dengan mengisi hidup lebih baik lagi. Kisah Hidup Ilyas Karim Sang Pengibar Bendera Pusaka Di usianya yang ke-81, pria sepuh itu masih tetap menikmati hidupnya di pinggir rel Kalibata, Jakarta Selatan.
Pria yang kini menderita stroke mata itu seharusnya bisa hidup lebih layak. Sebab, pria bernama Ilyas Karim adalah pelaku sejarah penting. Dialah pengibar pertama Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945 lalu. Anda tentu pernah melihat foto upacara pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat. Di foto itu tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ibu Fatmawati, dan SK Trimurti. Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas Karim.
Saat ini Ilyas tinggal di sebuah rumah sederhana di Jl. Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan, bersebelahan dengan rel kereta api, Selasa (12/8/2008) kemarin, Ilyas masih tampak bugar. Meski gerak badannya tidak segesit dulu, namun dia tidak tampak bungkuk ataupun tergopoh ketika berjalan. Ilyas menceritakan pengalamannya sebagai pengibar bendera Merah Putih pertama di republik ini. Waktu itu, Ilyas adalah seorang murid di Asrama Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng Jakarta Pusat. Malam hari sebelum dibacakan proklamasi kemerdekaan RI, Ilyas beserta 50-an teman dari API diundang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56. Katanya ada acara gitu, tutur Ilyas. Saat berkumpul di rumah Soekarno itulah Sudanco (Komandan Peleton) Latief menunjuknya untuk menjadi pengibar bendera di acara proklamasi kemerdekaan keesokan harinya. Satu orang pengibar yang lain yang ditunjuk adalah Sudanco Singgih, seorang tentara PETA. Saya ditunjuk karena paling muda. Umur saya waktu itu 18 tahun, kata Ilyas.
Ilyas menceritakan pengalaman itu dengan penuh semangat. Matanya yang harus diplester agar tidak terpejam tampak berbinar. Ilyas memang menderita stroke mata. Dokter menganjurkannya untuk memlester kelopak matanya agar tidak terpejam. Sudah berbagai upaya pengobatan ditempuhnya namun belum juga membuahkan hasil. Meski dengan sakitnya itu, Ilyas tetap aktif beraktivitas. Sejak tahun 1996 dia menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang memiliki cabang di 14 propinsi, antara lain di Medan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon. Yayasan itu sendiri bergerak di bidang sosial. Kegiatannya antara lain penyantunan anak yatim, pembangunan rutempat ibadah, dan penyantunan orang jompo.
Ilyas lahir di Padang, Sumbar. Dia sekeluarga baru menetap di Jakarta pada 1936. Ayahnya dulu seorang camat di Matraman. Di zaman penjajahan Jepang, ayahnya dibawa ke Tegal dan dieksekusi tentara Jepang. Sejak saat itu, Ilyas menjadi yatim. Setelah pengibaran Sang Saka Merah Putih itu, Ilyas kemudian menjadi tentara. Pada 1948, Ilyas dan sejumlah pemuda di Jakarta diundang ke Bandung oleh Mr Kasman Singodimejo. Di Bandung, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kesatuan tentara ini kemudian ini nama Siliwangi. Nama Siliwangi merupakan usul dari Ilyas. Sebagai tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di berbagai daerah, termasuk ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di Libanon dan Vietnam. Pada 1979, Ilyas pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Kehidupannya mulai suram, karena dua tahun kemudian dia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi, di Lapangan Banteng, Jakpus. Sejak saat itu hingga saat ini dia tinggal di pinggir rel KA.
ILYAS KARIM PENGIBAR SANG SAKA
PERTAMA
Ilyas Karim (bercelana pendek
membelakangi kamera) dan Sodanco Singgih mengibarkan bendera Sang Saka Merah
Putih seusai pembacaan proklamasi.
JAKARTA, KOMPAS.com – Langkah kakinya kini tak lagi setegap dulu. Untuk
menaiki anak tangga, kakinya pun bergetar. Padahal, setengah abad yang lalu,
dua kaki itu masih kuat menghentak bahkan menendang lawan.
Selain kaki, penurunan fungsi bagian tubuh juga tampak di
mata. Di matanya, ada dua buah plester yang menempel di atas kelopak mata.
Plester itu bertugas memaksa kelopak matanya untuk selalu terbuka.
Kerut wajahnya pun mengindikasikan kakek tua ini sudah
mengecap asam garam kehidupan. Dialah Ilyas Karim (84), seorang pejuang bangsa
yang kini jasanya seolah dilupakan pemerintah.
Nama Ilyas Karim memang tidak terlalu populer di kalangan
generasi penerus. Namun, sejarah mencatat ada seorang pemuda berusia 18 tahun
mengenakan celana pendek dengan mantap mengibarkan sang saka Merah Putih pada
tanggal 17 Agustus 1945 untuk pertama kalinya.
Dia-lah saksi hidup naskah proklamasi kemerdekaan RI
dibacakan oleh Presiden Soekarno yang didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta
di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Ilyas masih ingat
ketika dipercaya sebagai pengibar bendera Merah Putih, hatinya pun bergejolak
gembira.
“Bagaimana tidak senang? Saat itu detik-detik kemerdekaan
negara kita. Dan saya di situ mengibarkan bendera Indonesia pertama kali di
hadapan pak Presiden, Bung Hatta, Bu Fatmawati,” tutur Ilyas, Rabu (17/8/2011),
saat dijumpai di kediamannya yang ada di pinggir rel di Jalan Rawajati Barat
nomor 7, Kalibata, Jakarta Selatan.
Ia mengaku tidak tahu mengapa dirinya yang ditunjuk sebagai
pengibar bendera. Ketika itu, Ilyas hanya mengikuti seniornya, Chairulsaleh
yang memberitahukan pemuda di Asrama Pemuda Islam (API) untuk bersiap berkumpul
di rumah Bung Karno keesokan harinya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Ilyas bergegas menuju
rumah Bung Karno. Setibanya di sana, tangan Ilyas tiba-tiba ditarik oleh
Sudanco Latief Hendraningrat dan disuruh berdiam diri di samping tiang bendera.
“Saat itulah saya diminta jadi pengibar bendera bersama
Sudanco Singgih. Hanya karena saya datang duluan dibandingkan teman-teman,
jadinya sayalah yang ditunjuk. Coba kalau telat, ceritanya pasti berbeda,”
tutur Ilyas sembari bercanda.
Menurut Ilyas, ada satu momen di mana dirinya tidak akan
lupa adalah ketika Fatmawati menghampirinya sambil membawa sebuah kotak. Kotak
itu berisi bendera Merah Putih yang sudah dijahit sehari sebelumnya.
“Bagus sekali kain itu, masih sangat baru. Ibu Fatmawati
berpesan sama saya, ini kotak di dalamnya ada bendera hati-hati jangan sobek.
Saya jaga itu sampai pelan-pelan saya kerek naik ke puncak,” kata pria
kelahiran Padang Pariaman, 31 Desember 1927 ini.
Upacara bersejarah itu, diakui Ilyas, menumbuhkan semangat
nasionalisme untuk lepas dari penjajahan Jepang yang sangat besar. Setiap orang
mulai dari tua hingga muda tanpa membedakan suku, larut dalam semangat kesatuan
itu.
Begitu upacara usai, setiap orang bersorak gembira. Namun,
tidak ada perayaan berlebihan dalam peristiwa bersejarah itu. Setiap orang
pulang ke rumah masing-masing lantaran masih dalam bulan puasa. “Sama seperti
sekarang ini (bulan puasa). Tapi rasanya berbeda. Dulu semangatnya ada,” ujar
Ilyas lirih.
Ilyas merasa prihatin dengan kondisi bangsa yang carut
marut. Menurutnya, pemerintah tak lagi peduli akan rakyatnya. Padahal,
kemerdekaan dulu dicapai untuk seluruh rakyat.
“Yang sekarang ada rakyat miskin. Jaman dulu mana ada
pengemis, sekarang kemerdekaan itu hanya untuk para pejabat. Padahal dulu kami
berjuang untuk rakyat,” imbuhnya.
Masa Tua Hidup Sederhana
Selain menjadi salah satu tokoh bersejarah dalam pengibaran
bendera Merah Putih, Ilyas mengabdikan hidupnya sebagai Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Ia bertugas keliling daerah sampai menjadi pasukan perdamaian di Kongo,
Lebanon, dan Vietnam. Selama puluhan tahun menjadi tentara dan berpangkat
terakhir Letnan Kolonel, Ilyas pun tak bergelimang harta.
Ilyas hidup di pinggir rel kereta di Jalan Rawajati Barat
No. 7, Kalibata, Jakarta Selatan bersama sang istri. Ia membangun sebuah rumah
sederhana yang lantai duanya terbuat dari seng.
Meski hidup dalam keterbatasan, Ilyas tak mau terpuruk
meratapi nasib. Ia pun masih aktif menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Pejuang
Siliwangi yang sering mengadakan bakti sosial bagi anak yatim. “Hidup itu untuk
mengabdi bukan untuk diam-diam saja,” kata Ilyas.
Sikap sederhana Ilyas ini pula yang ditanamkan ke-14
anaknya. Elvita (40), anak kedua Ilyas, menuturkan sosok ayahnya terbilang
tegas dan sederhana. “Bapak nggak pernah mau minta sama kita-kita ini. Kalau
dikasih yang berlebihan dia juga pati nolak, sama orang lain juga begitu. Dia
maunya biasa-biasa saja,” ujar Elvita.
Dikatakan Ilyas, di sisa umurnya ini, ia hanya ingin mencari
amal. Ia mengaku sudah sejak lama tidak silau akan harta kekayaan. “Saya hidup
palingan hanya beberapa tahun lagi, saya cari pahala. Sudah nggak mau cari
harta kita beramal saja,” tandas kakek dengan 28 cucu ini.
*****
ILYAS KARIM MASIH TINGGAL DI PINGGIR
REL
Rumah sederhana milik Ilyas Karim
(84) di pinggir rel kereta Jalan Rawajati Barat, Kalibata. Ilyas adalah
pengibar pertama bendera merah putih pada 17 Agustus 1945 lalu.
JAKARTA, KOMPAS.com – Pengibar bendera merah putih pertama, Ilyas Karim (84)
masih tetap harus bertahan hidup di rumah sederhana yang berada di pinggir rel
di Jalan Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan. Kado kemerdekaan berupa
satu unit apartemen yang dijanjikan kepadanya oleh pengembang Kalibata City
masih belum bisa ditempati.
“Nggak tahu akan diapain apartemennya, saya tetap tinggal di
rumah pinggir itu (sambil menunjuk rel kereta di samping apartemen Kalibata
City),” ujar Ilyas, Rabu (17/8/2011), usai penyerahan simbolik sebuah unit
apartement di Kalibata City, Jakarta Selatan.
Dikatakan Ilyas, meski secara simbolik apartemen itu sudah
diberikan kepadanya, namun ia masih belum bisa memiliki sepenuhnya. “Katanya
baru bisa dipakai Mei tahun depan. Nggak tahu apa saya masih hidup atau nggak,”
canda pria kelahiran Padang Pariaman ini.
Meski demikian, ia mengaku berterima kasih dengan perhatian
yang diberikan pihak swasta kepadanya. Pasalnya, pemerintah yang selama ini ia
harapkan tak lagi memperhatikan pejuang tempo dulu. “Saya nggak pernah lagi
diundang ke istana. Sama sekali tidak ada bantuan pemerintah, yang ada hanya
masyarakat dan swasta. Tidak ada pemerintah,” tukasnya.
CEO Kalibata City, Budi Yanto Lusli mengakui bahwa apartemen
di tower R tersebut memang tidak bisa serta merta bisa ditempati Ilyas. “Memang
masih belum bisa, baru tahun depan karena tower itu masih dibangun,” ucap Budi.
Sementara kamar tipe lain dalam tower rusunami dan apami
sudah habis terjual. “Jadi, kami memberikan yang apartement. Soal kisaran harga
dan luasnya berapa itu surprise tapi kita berikan dengan fasilitas yang
lengkap,” tutu Budi.
Ia menambahkan pemberian kado ini merupakan salah satu
bentuk Corporate Social Responcibility (CSR) Kalibata City kepada pejuang,
khususnya Ilyas Karim. Nama Ilyas Karim memang tidak terlalu dikenal publik
apalagi bagi muda-mudi zaman sekarang.
Namun, ialah saksi penting dari peristiwa bersejarah
pengukuhan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 di rumah Bung Karno,
Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.
Sebuah foto menjadi bukti keterlibatan Ilyas dalam peristiwa
monumental itu. Di dalam foto upacara pengibaran bendera Merah Putih pertama
kali, dua pengibar bendera tampak dikelilingi oleh Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta, Fatmawati, dan Rahmi Hatta.
Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas
Karim. Sementara seorang lagi merupakan Sudanco Singgih, kini sudah
meninggal dunia.
0 comments: