Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia atau cukup disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam
system ketatanegaraan Indonesia.
Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR
bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sejarah
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam
menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan
berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri
beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat
Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen)
tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara
hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis
oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang
mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya.
Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk
pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni
1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam
konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan
idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini
didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat
memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan
bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan
Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh
wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan
Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).
Masa Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru
(1965-1999)
Pada awal masa Orde
Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saat itu.
Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra
Amandemen) menyebutkan, Sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden
Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan
wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal
berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra
Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP
sebagai embrio MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959),
lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia.
Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih
anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan
dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah
perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah
menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai
kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu,
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
berisikan :
·
Pembubaran Konstituante,
·
Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD
Sementara 1950,
·
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS
sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden
mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan
MPRS sebagai berikut :
·
MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
·
Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
·
Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah
Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
·
Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat
sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan
oleh Presiden.
·
MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang
diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang
terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan
Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi
peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa
pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh
kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS
yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya
diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi
pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai
lagi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka
diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas
dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum
terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh
peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban
Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta
kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden
Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai
pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun
1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi
permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama
“Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat.
Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa
Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara
itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai
“Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden
Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan
bangsa, negara, dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang
Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan
Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto
sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan
pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Sejk saat itu, maka semangat Orde Baru telah
menggantikan Orde Lama yang tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila.
Masa Reformasi (1999-sekarang)
Bergulirnya
reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil
keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi.
Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan
lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia
yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah
mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah
kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan
pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem
ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal 1
ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” , setelah perubahan
Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara,
yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang
ditentukan oleh UUD 1945.
Tugas,
dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang
sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal
penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan
konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring
dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.
Tugas
dan wewenang
Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Usul
pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR.
Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas
pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul
pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan
kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa
kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan
diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30
(tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan
MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR
untuk membahas kelengkapan persyaratan.
Jika usul
pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan
penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta
alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi
kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna
MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul
pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang
paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima
puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil
pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga
tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut
sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang
Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2)
tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya
dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.
MPR wajib
menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan
Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Keputusan
MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam
sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota yang hadir.
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
berakhir masa jabatannya.
Jika
terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang
paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR
tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji
dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak
dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan
Mahkamah Agung.
Memilih Wakil Presiden
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh)
hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Apabila
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR
menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya.
Dalam hal
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama.
Keanggotaan
MPR terdiri atas anggota DPR dan
anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan
dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR,
utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan
undang-undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang
terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR
adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.
Anggota
MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama
yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR
yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan
sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.
Hak
dan kewajiban anggota
Hak anggota
·
Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
·
Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
·
Memilih dan dipilih.
·
Membela diri.
·
Imunitas.
·
Protokoler.
·
Keuangan dan administratif.
Kewajiban anggota
·
Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
·
Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
·
Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·
Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan.
·
Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Fraksi
dan kelompok anggota
Fraksi
Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang
mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai
politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan
kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi
anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan
anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Pengaturan internal
fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.
Kelompok anggota
Kelompok
Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD.
Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas
kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah.
Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok
Anggota.
Alat kelengkapan
Alat
kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.
Pimpinan
Pimpinan
MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4
(empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal
dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang
ditetapkan dalam sidang paripurna MPR. Namun pada periode 2014 - 2019 pemilihan
pimpinan MPR dilaksanakan dengan mengajukan 2 paket yang di usung oleh dua
koalisi besar (KMP dan KIH) dengan struktur terdiri 4 orang dari DPR dan 1
orang dari DPD.
Panitia Ad Hoc
Panitia
ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari
jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang
susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap
fraksi dan Kelompok Anggota MPR.
Sidang
MPR bersidang sedikitnya duakali dalam lima tahun di ibukota
negara.
Sidang
MPR sah apabila dihadiri:
·
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR
untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
·
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR
untuk mengubah dan menetapkan UUD
·
sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota
MPR sidang-sidang lainnya
Putusan
MPR sah apabila disetujui:
·
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR
yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
·
sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah
Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum
mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan
pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai hasil yang mufakat.
Sekretariat
Jenderal
Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan (disingkat Setjen MPR) adalah Aparatur
Pemerintah yang berbentuk Kesekretariatan Lembaga Negara. Setjen MPR dipimpin
oleh seorang Sekretaris Jenderal yang berada di bawah MPR dan bertanggung jawab
kepada Pimpinan MPR.
0 comments: