BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di tengah-tengah memaparkan karakter
orang-orang munafik yang di dalam hati mereka ada penyakitnya itu-kita
menjumpai suatu isyarat tentang “setan-setan mereka” dan yang tampak dari
paparan surah dan rangkaian peristiwa bahwa yang dimaksud dengan setan-setan
itu adalah kaum yahudi, yang surah ini berisi serangan-serangan berat terhadap
mereka sesudah itu. Adapun kisah mereka terhadap dakwah adalah sebagai berikut.
Kaum Yahudi adalah orang-orang yang
pertama kali menolak dan memerangi dakwah di Madinah. Penolakan ini banyak
sebabnya. Kaum Yahudi memiliki kedudukan yang istimewa di Yatsrib karena mereka
adalah Ahli Kitab di antara bangsa Arab yang buta tulis baca, seperti Aus dan
Khazraj di samping orang-orang musyrik Arab sendiri tidak menampakkan
kecenderungan untuk memeluk agama Ahli Kitab itu. Hanya saja bangsa Arab itu
menganggap kaum Yahudi itu lebih pintar dan lebih mengerti karena mereka
mempunyai kitab. Kemudian di sana terdapat suatu kondisi yang mapan bagi kaum Yahudi
di antara suku Aus dan Khazraj karena terjadi perpecahan dan perseteruan di
antara mereka yang dalam lingkungan seperti inilah kaum Yahudi mendapatkan
lahan pekerjaan.
Setelah Islam datang maka semua
keistimewaan itu lepas dari mereka. Islam datang dengan membawa kitab yang
membenarkan kitab yang datang sebelumnya dan menjaganya. Selanjutnya, Islam
melenyapkan perpecahan yang diembus-embuskan kaum Yahudi untuk menciptakan
suasana yang keruh, tipu daya, dan mengeruk keuntungan. Islam menyatukan
barisan kaum muslimin dengan menghimpun kaum Aus dan Khazraj, yang sejak hari
itu mereka dikenal dengan kaum Anshar, dipersatukan dengan kaum Muhajirin. Dari
mereka semua disusunlah masyarakat muslim yang bersatu bahu-membahu dan teratur
rapi yang tidak pernah ada sebelum dan sesudahnya barisan umat yang seperti
itu.[1]
Pada dua Surat yang bergandengan
dekat, yaitu “Al-Muzammil (orang-orang yang berselimut) dan Al-Mudatstsir
(orang yang berkelumun) terbayanglah bagaimana Rasulullah SAW memulai
da’wahnya. Apalagi bila dapat diketahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya)
kedua surat itu. Seakan-akan orang yang berselimut, yaitu Nabi Muhammad SAW
masih diselimuti oleh kebingungan demi menghadapi tugas yang amat berat, lalu
beliau disuruh bangun memulai berjuang melakukan da’wah, membulatkan tekad
kepada Tuhan dan membersihkan diri sendiri lahir dan batin dari apapun macam
pengaruh alam ini. Dengan membaca Surat Al-Muzammil pun kita melihat bahwa Nabi
SAW disuruh memperkuat jiwa, memperteguh jiwa dan membuat pribadi menjadi utuh
dan tahan menghadapi segala rintangan dengan melakukan sembahyang malam
(qiyamul laili).[2]
Dalam Surat Ash-Shaff kita diajar
bagaimana menyusun barisan menghadapi musuh dan menegakkan jalan Allah agar
bersusun bershaf teratur, lantaran susunan batu-batu tembok yang rapi dalam
membangunkan rumah yang kokoh. Dan dalam surat itu juga kita mendapati ajaran
tentang perniagaan yang selalu beruntung bahkan berlipat ganda untungnya, yaitu
berjihad pada jalan Allah. Di samping itu diterangkan pertalian intisari
kebenaran di antara tiga orang Nabi, yaitu Nabi Musa yang selalu disakiti oleh
kaumnya, Nabi Isa yang mengakui bahwa kedatangannya adalah mengakui Kebenaran
Taurat dan memberi khabar gembira dengan bakal datangnya Nabi bernama AHMAD
sesudah dia kelak. Di ujung Surat Ash-Shaff itu dibayangkan bahwa sebagian dari
Bani Isra’il percaya penuh akan ajaran Isa dan yang segolongan lagi tidak mau
menerima.[3]
1.2 Permasalahan
Beberapa pembahasan dari makalah
ini, diantaranya adalah :
1.
Q.S.
Al-Baqarah ayat 44 beserta artinya
2.
Ashbabaul
Wurud turunya Q.S Al-Baqarah ayat 44
3.
Tafsiran
Q.S. Al-Baqarah ayat 44
4.
Q.S.
As-Shaff ayat 2-3 beserta artinya
5.
Tafsiran
Q.S. As-Shaff ayat 2-3
6.
Q.S.
Al-Muzamil ayat 10-11 beserta artinya
7.
Tafsiran
Surat Al-Muzamil ayat 10-11
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Q.S. Al-Baqarah ayat 44 Beserta Artinya
Artinya : “Mengapa kamu suruh orang
lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu
sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu Berpikir?
(Q.S : Al-Baqarah :44).[[1]]
2.
Ashbabaul Wurud turunnya Q.S. Al-Baqarah ayat 44
Kaum Yahudi mengira bahwa mereka
adalah bangsa pilihan Allah dan hanya mereka saja yang berhak memiliki risalah
dan kitab suci. Maka, mereka mengira bahwa Rasul yang terakhir itu dari
kalangan mereka sebagaimana yang mereka harapkan selama ini. Setelah Rasul
datang dan ternyata dari kalangan bangsa Arab, maka mereka berharap bahwa
mereka tidak termasuk wilayah dakwah Rosul ini, dan dakwah itu hanya terbatas
pada golongan Ummi (pribumi) dari kalangan bangsa Arab saja. Ketika mereka
dapati Rosul menyeru mereka- bahkan sebagai orang-orang yang lebih mengenal
beliau daripada kaum musyrikin dan lebih banyak untuk menyambutnya daripada
kaum musyrikin itu, maka bangkitlah kesombongan mereka untuk melakukan dosa.
Mereka menganggap arahan dakwah mereka itu sebagai penghinaan dan pelecehan.
Kemudian timbullah kedengkian mereka
yang amat sangat kepada Nabi SAW. Mereka dengki kepada mereka dua kali.
Pertama, karena Allah telah memilih beliau dan menurunkan kitab suci kepada
beliau- dan mereka tidak pernah meragukan kesahihannya. Kedua, mereka dengki
kepada beliau dengan cepat dapat mencapai hasil yang gemilang di seluruh
Madinah.
Meskipun di sana terdapat sebab lain
bagi dendam dan kedengkian mereka, yaitu karena sikap mereka yang selalu
memusuhi dan menyerang sejak hari-hari pertama, maka mereka merasa terancam
bila terpisah dari masyarakat Madinah yang mereka senantiasa memegang
kepemimpinan intelektual, perdagangan yang menguntungkan, dan riba yang
berlipat ganda. Demikianlah, ataukah mereka harus menerima dakwah yang baru ini
dan melebur ke dalam masyarakat Islam. Inikah dua hal- menurut perkiraan
mereka- sebagai sesuatu yang sangat pahit.
Karena semua itulah maka kaum Yahudi
menyikapi dakwah Islam seperti yang digambarkan dalam surah al-Baqarah ini (dan
surah-surah lainnya yang banyak jumlahnya) dalam uraian yang cermat, yang kita
petikkan di sini beberapa ayat yang mengisyaratkan hal itu. Di dalam
pendahuluan pembicaraan tentang Bani Israel datanglah seruan yang tinggi ini
kepada mereka.
Hai Bani Israil,
ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah
janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya
kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).
Dan berimanlah kamu
kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada
padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya,
dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya
kepada Akulah kamu harus bertakwa.
Dan janganlah kamu
campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang
hak itu, sedang kamu mengetahui.
Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah
kamu berpikir?
Setelah mengingatkan mereka panjang
lebar tentang sikap mereka terhadap Nabi Musa dan pengingkaran mereka terhadap
nikmat-nikmat Allah, kedurhakaan mereka terhadap kitab mereka dan syariat
mereka, serta perusakan janji mereka kepada Allah, maka datanglah firman Allah
kepada kaum muslimin supaya mereka waspada dan berhati-hati terhadap kaum
Yahudi itu.[[2]]
3.
Tafsiran Q.S. Al-Baqarah ayat 44
Bahaya para tokoh agama ini –ketika
sudah menjadi perusahaan dan perindustrian, bukan lagi akidah pembebas dan
pembela manusia dari kesesatan ialah mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang
tidak ada di dalam hati mereka. Mereka menyuruh orang lain berbuat baik
sementara mereka sendiri tidak mau melakukannya. Mereka mengajak manusia kepada
kebajikan, sedang mereka sendiri mengabaikannya. Mereka mengubah
kalimat-kalimat Allah dari tempatnya, menakwilkan nash-nash yang qath’I demi
melayani keinginan dan hawa nafsu. Mereka membuat fatwa-fatwa dan takwil-takwil
yang lahirnya sesuai dengan lahir nash, tetapi hakikatnya bertentangan dengan
hakikat agama, untuk membenarkan tindakan dan hawa nafsu orang-orang berduit
atau penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Yahudi.
Mengajak kepada kebaikan, tetapi
tindakan yang bersangkutan justru bertentangan dengannya, maka dalam hal ini
merupakan bencana yang dapat menimbulkan keragu-raguan di dalam jiwa, tetapi
juga membahayakan dakwah itu sendiri, karena akan menimbulkan kegoncangan dan
kebimbangan di dalam hati dan pikiran manusia. Pasalnya, mereka mendengar
perkataan yang bagus, tetapi menyaksikan perbuatan yang buruk. Maka, mereka
menjadi bingung memikirkan perkataan dan tindakan yang bertentangan ini.
Tindakan semacam ini akan memadamkan cahaya yang dinyalakan akidah di dalam
hati, memadamkan cahaya yang dipancarkan oleh iman, dan akhirnya orang-orang
tidak percaya lagi kepada agama setelah mereka kehilangan kepercayaan kepada
tokoh-tokoh agama.
Perkataan yang diucapkannya akan
mati dan kering, bagaimanapun didengung-dengungkan dan dikumandangkan, karena
ia tidak keluar dari hati yang mempercayai ucapannya itu sendiri. Tidaklah
seseorang akan mempercayai kebenaran ucapannya kecuali kalau ia sendiri menjadi
penerjemah (praktek) hidup bagi ucapannya, membuktikan dalam kenyataannya. Pada
waktu itu, orang pun akan mempercayainya meskipun kalimat itu tidak
didengung-dengungkan dan tidak dikumandangkan. Pada waktu itu, kekuatannya akan
muncul dari prakteknya, bukan dari kumandangnya; keindahannya mengembang dari
kejujurannya, bukan dari siarannya. Mustahil ia akan dapat menolong kehidupan
kalau tidak bersumber dari hati yang hidup.
Menyesuaikan perkataan dengan
perbuatan dan akidah dengan perilaku bukanlah perkara yang mudah dan tidak
datar jalannya. Ia membutuhkan latihan, perjuangan, dan usaha. Ia membutuhkan
hubungan dengan Allah, meminta bantuan dari-Nya, memohon pertolongan dengan
petunjuk-Nya. Maka, pergaulan hidup, kebutuhan-kebutuhannya, dan
tuntutan-tuntutannya banyak yang menjauhkan kenyataan seseorang dari apa yang
dipercaya dalam hatinya atau dari apa yang diserukannya kepada orang lain.
Seseorang yang tidak berhubungan dengan Kekuatan Yang Abadi adalah lemah,
bagaimanapun kekuatannya. Karena, kekuatan, kejahatan, kezaliman, dan
penyelewengan itu lebih besar dari kekuatannya, bahkan kadang-kadang ia
dikalahkan beberapa kali. Saat-saat kelemahan itu kadang-kadang datang
kepadanya sehingga ia menjadi hina dan jatuh serta merugi untuk masa lalunya,
masa kini, dan masa depannya. Adapun jika dia bersandar kepada Kekuatan Yang
Azali dan Abadi, ia akan menjadi kuat dan kuat, lebih kuat dari orang yang
kuat. Kuat menghadapi syahwatnya, kuat menghadapi kelemahannya, kuat menghadapi
kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutannya, dan kuat menghadapi orang-orang
kuat yang menghadapinya.
Oleh karena itu, Al-Qur’an
memberikan pengarahan kepada orang-orang Yahudi yang dihadapinya pertama kali
itu dan diarahkannya semua manusia sebagai konsekuensi logisnya agar memohon
pertolongan dengan bersabar dan menunaikan shalat. Mengenai orang-orang Yahudi,
mereka dituntut agar mengutamakan kebenaran yang mereka ketahui itu daripada
memfokuskan kepentingan pribadi (kelompok) dengan bersenang-senang di Madinah.
Dan, mengutamakan kebenaran itu dengan harga (kekayaan) yang sedikit, baik
hasil pelayanan keagamaan (yang mereka belokkan untuk mendapatkan keuntungan)
itu maupun kekayaan dunia ini seluruhnya, agar mereka masuk ke dalam rombongan
iman ini sedang mereka sendiri mengajak manusia kepada keimanan. Semua ini
memerlukan kekuatan, keberanian, dan keuletan, serta memohon pertolongan dengan
sabar dan shalat.
Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu.
(yaitu) orang-orang
yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya.
(Al-Baqarah:45-46)
Pada umumnya, Dhamir ‘kata
ganti’ “innahaa” ( )
adalah dhamir sya’n. Artinya, ajakan untuk mengakui kebenaran
dengan segala sesuatunya ini sangat berat, sulit, dan sukar, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu dan tunduk kepada Allah, yang merasa takut dan bertakwa
kepada-Nya, serta yakin dan percaya bahwa mereka akan bertemu dengan-Nya dan
kembali kepada-Nya.
Memohon pertolongan dengan sabar ini
diulang beberapa kali karena sabar ini merupakan bekal yang harus dimiliki di
dalam menghadapi setiap kesulitan dan penderitaan. Penderitaan yang pertama
kali ialah lepasnya kekuasaan, kedudukan, manfaat, dan penghasilan demi
menghormati kebenaran dan mengutamakannya, serta mengakui kebenaran dan tunduk
kepadanya.
Nah, bagaimana memohon pertolongan
dengan shalat? Bagaimana menjadikan shalat sebagai penolong?
Sesungguhnya shalat adalah hubungan
dan pertemuan antara hamba dan Tuhan. Hubungan yang dapat menguatkan hati,
hubungan yang dirasakan oleh ruh, hubungan yang dengannya jiwa mendapat bekal
di dunia dalam menghadapi realitas kehidupan dunia. Rasulullah SAW. apabila
menghadapi suatu persoalan, beliau segera melakukan shalat. Sedangkan beliau
adalah orang yang erat hubungannya dengan Tuhannya, dan ruhnya selalu
berhubungan dengan wahyu dan ilham. Sumber yang memancar ini senantiasa dapat
diperoleh setiap mukmin yang menginginkan bekal di jalan, ingin minum ketika
haus, ingin bantuan ketika bantuan terputus, dan menginginkan persediaan ketika
barang-barang persediaannya sudah habis.
Yakin akan bertemu Allah-penggunaan
kata “zhann” dan semua bentukannya dengan arti ‘yakin’ banyak terdapat di dalam
Al-Qur’an dan dalam bahasa Arab secara umum- dan yakin akan kembali kepada-Nya
dalam segala urusan, merupakan tempat bergantungnya kesabaran dan ketabahan,
tempat bergantungnya ketakwaan dan kepekaan, sebagaimana ia menjadi tempat
bergantungnya timbangan yang benar bagi tata nilai, nilai dunia dan nilai
akhirat. Apabila lurus timbangan nilai-nilai dan penghargaan ini, tampaklah
bahwa nilai dan harga dunia seluruhnya adalah sedikit, sebagai benda yang tak
berharga. Sebaliknya, tampaklah akhirat menurut hakikatnya, yang setiap orang
yang berakal sehat tidak akan ragu-ragu memilih dan mengutamakannya.
Demikianlah, orang yang mau merenungkan pengarahan Al-Qur’an yang ditujukan
kepada Bani Israel itu niscaya dia akan mendapatinya sebagai pengarahan abadi
yang selalu tertuju kepada semua manusia.[[3]]
4.
Q.S. As-Shaff ayat 2-3 Beserta Artinya
Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di
sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
5.
Tafsiran Q.S. As-Shaff ayat 2-3
Mula sekali dipanggil nama yang
patuh, yaitu orang-orang yang beriman! Panggilan itu adalah panggilan yang
mengandung pengormatan yang tinggi. Tetapi, panggilan itu diiringi dengan
pertanyaan, dan pertanyaan itu mengandung keheranan dan keingkaran; Kamu telah
mengaku diri orang yang beriman, dan Tuhan pun telah memanggil kamu dengan
panggilan yang penuh penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan dengan
mulutmu apa yang tidak pernah kamu kerjakan. Sebab mengatakan dengan mulut apa
yang tidak pernah dikerjakan tidaklah patut timbul dari orang yang telah
mengaku beriman kepada Allah. Syaikh Jamaluddin Al-Qasimiy menulis dalam
tafsirnya : “Mengatakan barang yang tidak pernah dikerjakan adalah berdusta,
dan berdusta sangatlah jauh daripada orang yang mempunyai murau-ah,
yaitu yang tahu harga diri. Sedang muru-ah itu adalah dasar yang utama yang
menyababkan timbulnya Iman. Karena Iman yang asli ialah kembali kepada fitrah
yang pertama, yaitu kemurnian jiwa dan agama yang benar itulah dia. Kalau iman
asli itu telah tumbuh, dengan sendirinya pula dia akan menumbuhkan pula
berbagai dahan dan ranting perangai-perangai yang utama dalam berbagai
ragamnya, yang diantaranya ialah ‘IFFAH’, artinya dapat mengendalikan diri.
Kesanggupan mengendalikan diri menyebabkan timbulnya pula tahu akan harga diri,
dan itulah dia muru-ah. Dan seorang yang telah mau berbohong tanda muru-ahnya
telah luntur. Artinya imannya yang luntur. Karena suatu ucapan lidah adalah
khabar berita yang mengandung arti. Arti yang terkandung ditunjukkan susunan
kata. Arti terletak di dalam batin, dan ucapan yang keluar dari mulut memakai
bibir dan lidah. Sedang suatu dusta adalah kata-kata ucapan mulut yang berbeda
di antara yang terucap dengan yang sebenarnya di dalam hati. Dengan demikian
maka pelakunya telah masuk ke dalam perangkap syaithan.
Perkataan yang tidak sesuai dengan
perbuatan sangat dibenci oleh Allah. Hal yang demikian tidaklah layak bagi
orang yang telah mengaku beriman. Ayat 2 dan 3 ini adalah peringatan sungguh-sungguh
bagi orang yang telah mengaku beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya
jangan menjadi pembohong.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
cucu Rasulullah SAW. berkata bahwa dia menghafal ucapan Rasulullah SAW. yang
demikian bunyinya
“Tinggalkanlah barang yang
menimbulkan keraguan engkau dan ambil yang tidak meragukan. Sesungguhnya
kejujuran membuat hati tenteram dan dusta adalah membuat hati ragu-ragu.” (Diriwayatkan oleh At-Tarmidziy).
Sebab itu maka hati orang yang
beriman itu tidaklah boleh ragu-ragu. Ragu-ragu hanya dapat hilang apabila
hidup bersikap jujur. Kejujuran untuk memupuk iman. Iman itu mesti selalu
dijaga. Kalau dilihat sepintas lalu saja tidaklah mungkin orang yang beriman
diberi nasehat supaya jangan berbohong, jangan berdusta. Tetapi tidak jarang
kejadian, karena kurang pemeliharaan iman itu jadi rusak karena dusta. Sebab
itu kita dapatilah di dalam Al-Qur’an beberapa peringatan kepada orang-orang
yang beriman supaya dia bertaqwa.
Dalam surat ke 4, An Nisaa ayat 136
diperingatkan dengan jelas;
Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Q.S. An-Nisaa : 136)
Orang yang perkataannya tidak cocok
dengan perbuatannya tidaklah akan ada padanya keberanian berjuang dengan
sungguh-sungguh. Sebab, Qitaal atauJihaad, berperang
atau berjuang menghendaki disiplin jiwa sebelum disiplin sikap.
Dalam ayat ini Allah menyatakan
cintanya kepada hambanya yang beriman, bilamana mereka bersusun berbaris dengan
teratur menghadapi musuh-musuh Allah di medan perang. Mereka berperang pada
jalan Allah, membunuh ataupun terbunuh. Tujuan mereka hanya satu, yaitu supaya
kalimat Allah tetap di atas dan agama Tuhan tetap menang, di atas dari segala
agama.
Tersebut, dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, yang diterima dengan sanadnya dari sahabat
Nabi Anu Sa’id Al-Khudry :
“Bersabda Rasulullah SAW: “Tiga
orang yang Allah tertawa melihat mereka : 1) seorang laki-laki yang bangun
sembahyang tengah malam, 2) Suatu qaum yang bershaff diwaktu sembahyang, 3) dan
suatu qaum yang bershaff ketika berperang.”
Oleh sebab itu maka sembahyang dan
berperang samalah memerlukan Iman. Di zaman Nabi SAW. hidup, Nabi Imam dalam
sembahyang dan Imam dalam berperang. Kalau dalam sembahyang seorang ma’mun
tidak boleh mendahului Imam, dalam peperangan seorang prajurit pun wajib patuh,
tunduk, dan tidak membantah sedikit pun kepada perintah atasan.
Sa’id bin Jubair mengatakan bahwa
Rasulullah SAW. ketika akan memulai peperangan dengan musuh mestilah lebih
dahulu mengatur barisan; “Seakan-akan mereka suatu bangunan yang kokoh.”
Muqatil bin Hayyan berkata; “Rapat bersusun di antara yang satu dengan yang
lain.”
Qatadah berkata; “Seakan-akan
bangunan yang kokoh! Tidakkah kau lihat seorang yang membangunkan suatu
bangunan? Tidak ada yang tertonjol atau tinggi rendahan. Demikian pulalah Allah
Azza wa jalla tidaklah Dia suka perintahnya tidak dijalankan dengan
sungguh-sungguh. Allah memerintahkan barisan di medan perang sebagaimana
barisan di medan sembahyang berjama’ah. Teguhilah memegang perintah Allah ini
supaya kamu menang!”
Dengan ajaran ini teranglah bahwa
Islam bukanlah semata-mata untuk kepentingan diri, untuk bersamadi merenung
diri dengan tidak mementingkan masyarakat. Seorang muslim adalah anggota dari
masyarakat Islam yang besar. Di antara agama dengan keduniaan tidak ada
pemisahan. Di waktu Rasulullah SAW. hidup masyarakat Islam telah terbentuk.
Setelah beliau wafat, jenazah beliau belum dikebumikan sebelum diangkat
Khalifah beliau yang akan menjadi IMAM menggantikan beliau. Maka tiap-tiap
anggota masyarakat Islam wajiblah selalu mengokohkan Iman memperteguh hati dan
sedia selalu buat berjuang.
Rasulullah SAW. bersabda :
“Barang siapa yang memohonkan agar dia mati
dalam syahid dengan segala kejujuran hati niscaya Allah akan menyampaikannya ke
tempat orang yang mati syahid, walaupun dia meninggal di atas pembaringannya.” (Diriwayatkan oleh Muslim dari Hadits Sahl bin
Haniif).[[5]]
6.
Q.S. Al-Muzammil ayat 10-11 Beserta Artinya
Dan
bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara
yang baik.
Dan
biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu,
orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang
sebentar.
7.
Tafsiran Surat Al-Muzammil ayat 10-11
“Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan
itu”.
Macam-macamlah kata-kata yang
dilontarkan oleh kaum musyrikin itu terhadap Nabi SAW. untuk melepaskan rasa
dendam dan benci. Dituduh gila, dituduh tukang sihir, dituduh tukang tenung dan
sebagainya. Maka disuruh Tuhanlah Nabi bersabar, jangan naik darah, hendaklah
berkepala dingin mendengarkan kata-kata demikian. Karena jika kesabaran hilang,
pedoman jalan yang akan ditempuh atau rencana yang tengah diperbuat akan gagal
semua tersebab hilang kesabaran. Sabar adalah satu syarat mutlak bagi seseorang
Nabi atau seorang pemimpin yang ingin berhasil dalam perjuangannya.
“Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap
orang-orang yang mendustakan itu”.
Janganlah engkau menuntut balas sendiri terhadap kekasaran sikap
orang-orang yang mendustakan itu. Teruskan saja melakukan da’wah yang
ditugaskan Tuhan ke atas pundakmu. Tentang menghadapi orang-orang seperti itu
dan menentukan hukumnya, serahkan sajalah kepada Allah;
“Yang mempunyai kemewahan”
Biasanya mereka berani mendustakan
Rasul Allah mentang-mentang mereka kaya, mentang-mentang mereka hidup mewah
penuh ni’mat, sehingga mereka tidak mau mengingat bahwa nikmat yang mereka
gelimangi itu mereka terima dari Allah;
“Dan berilah mereka tangguh sejenak” (Q.S. Al-Muzammil
:11)
Artinya, biarkanlah mereka
bersenang-senang, bermewah-mewah sebentar waktu. Akan berapalah lamanya dunia
ini akan mereka pakai. Kemewahan itu tidak akan lama. Ada-ada saja jalannya
bagi Tuhan untuk mencabut kembali nikmat itu kelak. Karena Tuhan itu Maha Kuasa
memutar balikkan sesuatu. Sejauh-jauh perjalanan hidup, akhirnya akan mati.
Segagah-gagah badan waktu muda, kalau umur panjang tentu akan tua.
Sesehat-sehat badan, satu waktu akan sakit. Atau harta itu sendiri licin
tandas, sebagaimana licin tandasnya kebon yang terbakar karena yang empunya
bakhil semua, sebagai dijelaskan Tuhan dalam Surat ke 68, Al-Qalam juga.[[7]]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari tafsir ayat yang telah dijelaskan bahwa dapat kita beri
penegasan tentang pentingnya beramar ma’ruf dan bernahimungkar. Sebab dengan
adanya segolongan umat yang melarang dan mencegah timbulanya kekacauan dan
kerusakan di muka bumi, secara tidak langsung mereka telah turut menyelamatkan
bumi dari kehancuran akan murka Allah SWT.
Sehingga mengisyaratkan agar kita sebagai umat manusia harus
peduli pada orang-orang disekitar kita. Kita tidak boleh lalai dalam
mengingatkan umat dari perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dibenci Allah.
3.2
Saran
Sebagai mahasiswa, kita harus lebih peduli pada lingkungan
sekitar dengan melarang perbuatan-perbuatan yang dibenci Allah agar Allah tidak
menurunkan murka-Nya ke muka bumi ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Sayyid, Quthb, 2000,“Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di
bawah naungan Al-Qur’an Jilid 1)Jakarta, Gema Insani.
Prof. Dr. Hamka, 1982, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII” Surabaya,
PT Bina Ilmu Offset.
Prof. Dr. Hamka, 1983, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXX” Surabaya,
PUSTAKA ISLAM.
[1]
Sayyid, Quthb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di bawah naungan Al-Qur’an
Jilid 1) Jakarta, Gema Insani, 2000, hal 114.
[2]
Ibid, hal 50-51
[3]
Ibid, hal 117-119
[4]
Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII” Surabaya, PT
Bina Ilmu Offset, 1982, hal 154.
[5]
Ibid, hal 155-159.
[6]
Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXX” Surabaya, PUSTAKA
ISLAM, 1983, hal 193.
[7]
Ibid, hal 194-195.
0 comments: